Powered By Blogger

Senin, 28 Februari 2011

penelitian

MITOS DAN RITUS LABUH SESAJI DI TELAGA SARANGAN KECAMATAN PLAOSAN KABUPATEN MAGETAN
(TELAAH STRUKTUR, MAKNA, DAN NILAI EDUKATIF)

Dwi Rohman Soleh

ABSTRACT

This study aims to understand: (1) the strucuture of Labuh Sesaji myth at Sarangan lake, (2) the meaning Labuh Sesaji myth at Sarangan Lake, (3) the mechanism of Labuh Sesaji myth at Sarangan Lake, (4) the correlation between myth and mechanism of Labuh Sesaji at Sarangan Lake, (5) educational value within the myth and mechanism of Labuh sesaji at Sarangan lake.
The study of myth and mechanism of Labuh sesaji at Sarangan lake at Plaosan subdistric, Magetan distric (the analysis of structure, meaning, and educational value of labuh sesaji) was categorized as qualitative sereach, due to the fact that: (1) it had descriptive characteristics, (2) the data that was collected dirrectly by observation, interview, and recorded data, (3) the researcher worked as the instrument as well as the data collector.
The study described (1) the structure of Labuh sesaji myth that included: (a) plot, it has beginning, middle, and the ending plot, (b) character, it included the main and secondary character, (c) background. It included place, time and condition background, and (d) and the meaning. It had moral value that should be learned and applied by the society. The value stated that the disaster that hit the society surrounding Sarangan lake was considered as the realization of Kyai Pasir and Nyai Pasir’s anger as the owners of Sarangan Lake. Thus, the society held the Larung sesaji. (2) The meaning of Larung sesaji myth at Sarangan Lake. it showed that Kyai and Nyai Pasir was considered the doer of each disaster at Sarangan Lake. Thus, the disaster should be prevented by Larung Sesaji. (3). The mechanism in Labuh sesaji at Sarangan Lake included salutation ceremony and salamatan ceremony. The salutation ceremony aimed to respect Murcane Kyai and Nyai Pasir at Telaga Sarangan. The salamatan ceremony was aimed to prevent Sarangan society from the disaster that was caused by the anger of Kyai and Nyai Pasir. All of the needs of Labuh Sesaji must be prepared well. It included material, offering, goods, the doer, and the other requirements needed. (4). The meaning of Labuh sesaji at Sarangan Lake vertically meant to get safety, gift to god and ancestry (Kyai and Nyai Pasir) at Sarangan Lake. Yet, horizontally, it supported the interaction between people and government. (5) Educationally, it had historical, moral, and traditional values.

Key word: myth, mechanism (ritus), Labuh sesaji mechanism.

A. Pendahuluan
Dalam sistem budaya masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk yang terdiri beraneka ragam suku bangsa, ritus/upacara, merupakan salah satu unsur budaya yang mempunyai eksistensi fungsional. Upacara yang kita amati sebagai wujud tradisi masa kini sebenarnya berakar pada sejarah yang terjadi di masa lampau.
Suwardi Endraswara (2003:194), menggambarkan bagaimana mitos mewarnai kehidupan orang Jawa, kehidupan orang Jawa banyak dipengaruhi mitos, hal ini tampaknya berkaitan dengan paham kejawen yang mereka anut. Mitos di Jawa erat kaitannya dengan keyakinan atau kepercayaan. Menurut sejarahnya, mitos mengikuti dan berkaitan erat dengan ritual. Mitos adalah bagian ritual yang diucapkan, cerita yang diperagakan oleh ritual. Ritus merupakan fenomena budaya yang kaya akan lambang-lambang. Dalam ritus, mengendap nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan sebagai aspek ideal. Lambanglah yang telah mengubah gagasan manusia menjadi wujud riel kebudayaan. Kebudayaan pada hakekatnya merupakan perangkat lambang yang bermakna (Geertz, 1989:52).
Ritus sebagai fenomena budaya yang kaya akan lambang pada hakekatnya bermakna ganda. Di satu sisi merupakan kegiatan yang berfungsi religius dan disisi lain mempunyai fungsi sosial. Dikatakan bermakna religius karena berkaiatan dengan aspek supranatural dan dikatakan bermakna sosial karena kegiatan ritus tersebut melibatkan masyarakat pendukung kebudayaan. Ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan sebagai salah satu tradisi masyarakat Sarangan yang dilaksanakan setahun sekali tepatnya pada hari Jumat Pon bulan Ruwah. Labuh sesaji ini dilakukan untuk memohon agar penunggu Telaga Sarangan tidak marah sebab, bila tidak dilakukan labuh sesaji, diyakini oleh masyarakat bahwa penunggu Telaga Sarangan akan marah sehingga membuat bencana alam di Sarangan khususnya.
Fungsi mitos menurut Mulyono (1989:28) ada tiga yaitu:
1. Fungsi Religius
Sebagai fungsi religius, mitos dianggap dapat memberikan kesadaran kepada manusia bahwa dalam alam semesta itu ada kekuatan gaib, dalam hal itu manusia ikut berpartisipasi dan ikut menghayati kekuatan gaib tersebut.
2. Fungsi Sosial
Dalam lingkup kehidupan sosial, manusia hidup sebagai mahluk sosial tidak bisa terlepas dari keterhubungan dan keterkaitan atau ketergantungan dengan orang lain, mitos berusaha membuat seolah-olah menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa yang dahulu pernah terjadi sedemikian rupa, sehingga peristiwa-peristiwa dari cerita yang dihadirkan itu berfungsi sebagai pelajaran atau cerminan bagi kehidupan sosial, bisa memberikan jaminan dan perlindungan bagi kepentingan-kepentingan kehidupan di masa kini.
3. Fungsi Filosofis
Mitos berusaha menjelaskan tentang alam semesta, kosmologi, kosmogoni, yang biasanya terangkai dalam cerita-cerita asal-usul dan sifat terjadinya bumi dan langit.
Menurut Asep Yudha Wirajaya (2009), pada dasarnya mitos adalah sebuah proses komunikasi lintas generasi dalam tataran simbolis yang tertata apik dan rapi untuk mengatasi atau memecahkan berbagai kontradiksi empiris yang tidak terpahami oleh nalar manusia (deep structure) suatu masyarakat (http://asepyudha. staff.uns.ac.id/2009/05/27/pelapisan-sosial-dan-kekuasaan-dalam-mitos watugunung-sebuah-telaah-ringkas-struktural-antropologis-levi-strauss/).
Ritus adalah tata cara dalam upacara keagamaan (Dep.P dan K, 1988:75). Sedangkan menurut Preusz (dalam Koentjaraningrat, 1985:32) menyatakan bahwa ritus atau upacara religi bersifat kosong tak bermakna, apabila tingkah laku manusia di dalamnya di dasarkan pada akal rasional dan logika, tetapi secara naluri manusia memiliki suatu emosi mistikal yang mendorongnya untuk berbakti kepada kekuatan tinggi yang anehnya tampak kongkret di sekitarnya dalam kaitan dengan alam.
Menurut Roberston (dalam Koentjaraningrat, 1985:32), ada tiga gagasan penting untuk menambah pengertian ritus, yaitu mengenai asas-asas dari religi dan agama pada umumnya. Pertama, bahwa di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga penting. Dalam agama upacaranya itu tetap, walaupun latar belakang, keyakinan, maksud, dan doktrinnya berubah. Kedua, bahwa upacara religi atau ritus biasanya dilakukan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama, maupun fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritaskan masyarakat. Ketiga, fungsi ritus yaitu pada dasarnya sebagai suatu aktifitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan apa yang diyakini (Smith dalam Koentjaraningrat,1985:24).
Wujud dari ritus biasanya berbentuk aktifitas sebagai wujud adanya emosi keagamaan, seperti pendapat Koentjaraningrat (1985:44) bahwa sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, mahkluk halus, dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni gaib lainnya. Ritus atau upacara religi biasanya berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim, atau kadang-kadang saja. Jadi dapat disimpulkan ritus adalah perilaku dan sikap yang bisa berwujud upacara, pemujaan, ziarah, doktrin, larangan, pantangan, bersujud, berkorban, dan sebagainya dengan tujuan untuk memperoleh atau mendapatkan sesuatu yang diharapkan dan menghindari sesuatu yang tidak diinginkan dengan berdasarkan pada kepercayaan atau keyakinan yang ada. Ritus memiliki sifat turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya.
Strukturalisme berasal dari konsep yang dikemukakan oleh antropologi Claude Levi-Strauuss (dalam Shri Ahimsa-Putra, 2001:67) memiliki sejumlah asumsi dasar. Pertama, dalam strukturalisme ada anggapan bahwa aktivitas sosial dan hasil, seperti dongeng, upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian, dan sebagainya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa, atau lebih tepatnya merupakan perangkat tanda dan simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu.
Kedua, para pengamat strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis, sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal. Adanya kemampuan ini membuat manusia (seolah-olah) melihat struktur di balik berbagai macam gejala. Gejala dipandang memiliki strukturnya sendiri-sendiri, yang disebut sebagai surface structure atau struktur permukaan struktur luar. Struktur yang ada pada sebuah mitos, suatu sistem kekerabatan, sebuah kostum, sebuah ritual, tata cara memasak, dan sebagainya merupakan struktur-struktur permukaan.
Menurut Shri Ahimsa-Putra (2001-92), analisis struktural Levi-Strauss atas mitos sebenarnya juga diilhami oleh teori informasi atau lebih tepat teori komunikasi. Dalam perspektif teori ini mitos bukan hanya dongeng pengantar tidur, tetapi merupakan kisah yang memuat sejumlah pesan, yang diasumsikan bahwa pengirim pesan adalah orang-orang dari generasi terdahulu, para nenek moyang, dan penerimanya adalah generasi sekarang. Jadi di situ ada komunikasi anatara dua generasi, tetapi bersifat satu arah.
Dengan dasar beberapa pandangan di atas, Levi-Strauss (dalam Ahimsa-Putra, 2001:94) menetapkan landasan analisis struktural terhadap mitos sebagai berikut. Pertama, bahwa jika mitos dipandang sebagai sesuatu yang bermakna, maka makna ini tidaklah terdapat pada unsur-unsurnya yang berdiri sendiri, yang terpisah satu dengan yang lain. Cara mengkombinasikan unsur-unsur mitos inilah yang menjadi tempat bersemayamnya sang makna. Kedua, walaupun mitos termasuk kategori ‘bahasa’, namun mitos bukanlah sekedar bahasa. Artinya, hanya ciri-ciri tertentu saja dari mitos yang bertemu dengan ciri-ciri bahasa.
Menurut Ahmadi dan Uhbiyati (1991) bahwa nilai dalam sastra dapat menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Dalam teori di atas, tersirat pengertian bahwa pendidikan merupakan usaha untuk membentuk nilai hidup, sikap hidup, kepribadian, dan intelektualitas seseorang. Diyakini bahwa di dalam cerita rakyat terkandung nilai-nilai pendidikan yang cukup banyak.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian lebih menekankan proses dan makna. Dalam penelitian ini informasi yang bersifat kualitatif dideskripsikan secara teliti dan analitis. Pendeskripsian meliputi struktur mitos, makna mitos, serta unsur ritus, urutan ritus atau deskripsi ritus, makna ritus, dan nilai edukatif.
Sebagai penelitian kualitatif, penelitian ini memiliki karakteristik seperti yang dikatakan Bogdan Biklen (dalam Aminudin, 1990:14), yaitu (1) natural setting sebagai sumber data langsung dan instrumen kuncinya adalah peneliti sendiri, (2) bersifat deskriptif, (3) lebih mengutamakan proses daripada hasil, (4) analisis data secara induktif, dan (5) makna atau meaning merupakan perhatian utama.
Sesuai dengan jenis penelitian, yakni penelitian kualitatif, maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Penelitian sastra yang menggunakan metode seperti ini tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi data (Surakhmad, 1982:139).
Data penelitian ini berupa paparan kebahasaan yang berbentuk informasi verbal lisan mengenai cerita asal mula terjadinya telaga Sarangan dan asal mula labuh sesaji. Data penelitian yang berupa tuturan lisan ini ditranskripsikan menjadi paparan/tuturan tertulis. Data lain berupa hasil observasi dalam bentuk catatan langsung terutama perilaku-perilaku ritus yang dijalankan.
Informan penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah seseorang yang dapat memberikan informasi secara lengkap dan akurat, yaitu sesepuh desa Sarangan, kepala desa, dan informan dari dinas Pariwisata Kabupaten Magetan.
Lokasi atau tempat yang ditetapkan dalam penelitian ini cerita Kyai Pasir dan Nyai Pasir di Telaga Sarangan. Penelitian ini pengumpulan data dilakukan langsung ke tempat-tempat sumber data yang sudah ditentukan.
Perekaman dilakukan untuk merekam semua pernyataan informan. Hal ini dilakukan pada saat wawancara antara informan dan peneliti. Perekaman digunakan untuk menjaring data cerita asal mula Labuh Sesaji di Telaga Sarangan dan masyarakat pendukung ritus.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan dokumentasi untuk tujuan pemahaman bahan-bahan tersebut, sehingga memungkinkan dapat dilaporkan hasil penelitian ini pada pihak lain.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Struktur Mitos
Struktur mitos Telaga Sarangan ini akan diuraikan, yaitu tentang alur, tokoh, latar, dan amanatnya. Adapun keterangannya diuraikan sebagai berikut :
a. Alur Mitos Telaga Sarangan
Dalam penelitian ini alur dibagi menjadi alur awal, tengah, dan akhir.
a. Alur Awal
Pada cerita legenda Telaga Sarangan ditemukan alur awal yaitu pada bagian cerita bahwa, hidup sepasang suami istri yang tidak diketahui dari mana asalnya dan membangun sebuah pondok di lereng timur Gunung Lawu, tepatnya di Ngelo, yaitu sebelah utara lingkungan Sarangan sekarang. Bertahun-tahun mereka hidup berdampingan tidak dikaruniai anak, akhirnya mereka bersemedi meminta kepada Hyang Widhi agar dikaruniai anak dan akhirnya dikaruniai anak laki-laki.
b. Alur Tengah
Cerita selanjutnya ditemukan alur tengah yaitu pada bagian cerita berikut;
Pasangan suami istri yang menyebutkan diri, Kyai dan Kyai Pasir. Kemudian Kyai Pasir pergi bertapa di tempat yang sepi. Dalam semedinya, Kyai Pasir mendapat wangsit bahwa cita-citanya akan terwujud bila dapat menemukan dan memakan telur di dekat ladangnya. Dengan senangnya sebutir telur yang dicari dan didapatkan tersebut dibawa pulang. Sesampainya di rumah lalu diberitahukan kepada istrinya, lalu direbus oleh Nyai Pasir. Setelah telur masak kemudian dibagi menjadi dua, separuh dimakan Kyai Pasir dan separuhnya lagi dimakan Nyai Pasir.

c. Alur Akhir
Di akhir cerita bahwa ditemukan data sebagai berikut;
Melihat niat jahat kedua orang tuanya itu, semedi Djoko Lilung semakin kuat dengan maksud agar niat jahat Kyai dan Nyai Pasir tidak diteruskan. Semedi Djaililung diterima dan cekungan yang dibuat Kyai dan Nyai Pasir belum dalam, sudah timbul kesadarannya/insyaf bahwa niatnya itu buruk, maka diurungkannya niat jahat tersebut. Mereka berdua akan kembali ke Sarangan malu dan akhirnya murco (menghilang) di cekungan yang baru tadi.

b. Tokoh Mitos Labuh Sesaji
Dalam mitos labuh sesaji ini digolongkan menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh bawahan.
a. Tokoh Utama
Dalam cerita mitos di Telaga Sarangan, tokoh utamanya Kyai Pasir dan Nyai Pasir.
b. Tokoh Bawahan
Dalam mitos di Telaga Sarangan, tokoh bawahannya adalah Djoko Lilung anak dari Kyai dan Nyai Pasir.
c. Latar Mitos Labuh Sesaji
Dalam cerita ini latar yang pertama adalah latar tempat, ini dikuatkan dengan kutipan cerita berikut.
Dalam semedinya, Kyai Pasir mendapat wangsit bahwa cita-citanya akan terwujud bila dapat menemukan dan memakan telur di dekat ladangnya.

d. Amanat Labuh Sesaji
Dalam cerita mitos Telaga Sarangan tersebut kita dapat menemukan pada cerita bahwa seorang anak yang mau mendoakan orang tuanya yang mempunyai niat jahat untuk tidak meneruskan niat jahatnya. Seorang anak dengan tekadnya yang kuat akan kepercayaan untuk memohon kepada Sang Pencipta agar orang tuanya diberikan kesadaran akan tindakannya yang salah.
2. Struktur Ritus
a. Alur Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Dalam penelitian ini alur dibagi menjadi alur awal, tengah, dan akhir.
a. Alur Awal
Labuh sesaji dimulai dengan mempersiapkan semua yang diperlukan dalam labuh sesaji yaitu berupa penyediaan bahan, alat, pakaian atau busana, dan panitia (pelaku) baik panitia yang membuat sesaji maupun panitia pada waktu pelaksanaan.
b. Alur Tengah
Pada bagian ini labuh sesaji pada kegiatan pelaksanaan atau prosesi. Setelah semua sesaji siap, lalu dikumpulkan menjadi satu di balai desa kemudian dibawa ke punden. Sesampainya di punden, sesaji dibacakan doa oleh sesepuh desa yaitu Mbah Parto Sentono.
c. Alur Akhir
Setelah sesaji dibacakan doa oleh sesepuh desa maka, semua sesaji dibawa ke tengah telaga dengan perahu untuk dilarungkan.
b. Tokoh Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
a. Tokoh Utama
Dalam labuh sesaji di Telaga Sarangan, Kepala Desa digambarkan sebagai seseorang yang tinggal di sekitar Telaga Sarangan. Mereka tinggal disana dengan berbagai kesibukan dalam mengatur rumah tangganya sendiri-sendiri maupun rumah tangga pemerintahan.
b. Tokoh Bawahan
Dalam labuh sesaji Telaga Sarangan, tokoh prajurit, pengapit sesepuh, dan pembawa penarung adalah sekelompok orang yang mempunyai tugas membantu kepala desa untuk mengadakan upacara labuh sesaji.
c. Latar Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Latar labuh sesaji di Telaga Sarangan diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu (1) latar ruang (tempat), (2) latar waktu, dan (3) latar suasana.
d. Amanat Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Amanat yang terdapat di labuh sesaji, yakni masyarakat Sarangan beranggapan bahwa bencana alam yang menimpa masyarakat Sarangan diakibatkan oleh penghuni Telaga Sarangan yang marah (Kyai Pasir dan Nyai Pasir), sehingga kejadian semacam itu tidak boleh dibiarkan saja, maka perlu ditindak-lanjuti dengan wujud memberi sesaji yang dilarungkan ke Telaga Sarangan.
2. Makna Mitos Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Setiap terjadi bencana alam di Sarangan yang berupa angin topan, hujan lebat, kabut tebal yang datang secara tiba-tiba dan berlangsung berhari-lari, sesepuh Desa Sarangan pada malam hari melihat cahaya terang dari pohon rindang di tepi telaga tempat naga menghilang itu. Bencana alam baru dapat reda apabila cahaya terang itu sudah menghilang. Oleh sebab itu, sesepuh Desa Sarangan menyarankan untuk membuat penolak balaknya yaitu dengan membuat sesaji.
3. Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Dari peristiwa-peristiwa yang melanda keluarga Kyai dan Nyai Pasir, akhirnya masyarakat sekitar menyakralkan peristiwa tersebut dengan cara membuat sesaji yang diletakkan di punden yang letaknya di pinggir telaga. Ini dilakukan setiap selapan hari (35 hari) sekali tepatnya hari Kamis Pahing malam Jumat Pon dan juga dilarungkan ke Telaga Sarangan.

1. Deskripsi Pelaksanaan Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
a. Sesaji dan Perlengkapan Lainnya
a) Sesaji yang dipersembahkan
1) Cok Bakal
Cok bakal terdiri dari :
(a) Sirih yang dilipat/digulung kemudian diikat dengan benang, (b) Jenang merah, (c) Jenang putih, (d) Uang gobog, (e) Cabai merah 1 buah, (f) Telur ayam mentah 1 butir, (g) Takir dari daun pisang.
2) Kemenyan madu gondo arum
Kemenyan madu gondo arum Yaitu kemenyan yang harum baunya.
3) Sekar telon gondo wangi
Sekar telon gondo wangi terdiri dari tiga macam bunga yaitu:
(a) bunga melati, (b) bunga kanthil, (c) bunga kenanga
4) Panggang ayam tulak rojo muko/panggang tumpeng Panggang tumpeng terdiri dan: (a) panggang ayam 1 buah, (b) nasi tumpeng dengan lauk-pauk dan sayur-mayur
5) Pisang ayu apupus cindhe
Pisang ayu apupus cindhe terdiri dari 2 macam pisang yaitu:
(a) pisang rojo
(b) pisang ambon hijau
6) Jenang sapto warno
Sesuai dengan namanya jenang ini terdiri dari 7 macam jenis warna yaitu :
(a) jenang merah, (b) jenang putih, (c) jenang kuning, (d) jenang hitam, (e) jenang merah yang bagian tengahnya diberi sedikit jenang warna kuning, (f) jenang putih yang bagian tengahnya dan beri sedikit jenang warna hitam, (g) jenang putih yang bagian tengahnya diberi sedikit jenang warna merah.
7) Arang-arang kambang
Arang-arang kambang berupa dawet ketan yang dilengkapi dengan juruh.
8) Asahan bekti pertiwi
Asahan bekti pertiwi terdiri dari senampan nasi dengan bermacam-macam lauk pauk.
9) Golong hangesti tunggal
Golong hangesti tunggal berupa nasi golong yang dibuat bulat-bulat, yang jumlahnya sembilan.
10) Pudak ripih widodari
Pudak ripih widodari terdiri dari 17 macam makanan yaitu;
(a) panggang ayam, (b) lampu dari minyak tanah (lampu ublek) 2 buah, (c) pisang godog, (d) pisang yang sudah masak, (e) kelapa tua 2 buah yang sudah dikupas kulitnya, (f) mayang 2 buah ditaruh diatas piring, (g)jajanan, (h) mie goreng, (i) kupat-lepet 2 piring, (j) kendi (tempat air dari tanah liat yang kecil) 2 buah, (k)botok tawon, (1) botok tempe, (m) botok asren, (n) nasi 2 piring, (o) wawa 2 bongkeh yang ditaruh di atas layah, (p) ngantenan (orang-orangan yang dibuat dari jenang merah), (q) gorengan
11) Rojo tetukulan
Rojo tetukulan ini semua hasil pertanian yang ada di Desa Sarangan. Semua sesaji tersebut di atas dijadikan satu, dinamakan Sesaji Agung.
b) Prosesi
Prosesi dimulai dari dari Balai Kelurahan Sarangan. Dari tempat ini prosesi diawali dengan barisan yang diatur sesuai dengan formasi yang telah dijelaskan di atas. Prosesi ini dilakukan dengan berjalan kaki kecuali pasukan berkuda yang berjumlah empat orang naik kuda dengan jarak kurang lebih 0,5 km dan berhenti di punden sebelah timur telaga.
b. Pakaian / Busana
Dalam acara Labuh Sesaji di Telaga Sarangan, untuk pakaian tidak ada ketentuan khusus pakaian yang harus dikenakan pada setiap rangkaian kegiatan sejak mulai persiapan, maupun pelaksanaan. Artinya, bahwa tidak ada keharusan untuk memakai pakaian tertentu dalam pelaksanaan ritus tersebut. Walaupun demikian, dari tradisi pelaksanaan ritus yang sudah berjalan dari tahun ke tahun nampaknya memunculkan kebiasaan mengenai jenis pakaian yang sering digunakan dalam pelaksanaan Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan. Berikut ini diuraikan jenis pakaian yang biasa dikenakan dalam penyelenggaraan kegiatan tesebut.
a) Sesepuh Desa
Untuk sesepuh desa memakai pakaian Jawa lengkap dengan blangkon, memakai keris. Pakaian atas berwarna gelap atau hitam sedangkan pakaian bawah mengenakan jarik.
b) Prajurit Berkuda
Untuk prajurit berkuda dengan jumlah empat orang mengenakan ala penganten Jawa laki-laki pakai kuluk.
c) Subo Manggolo (Cucuk Laku)
Pakaian Subo Manggolo mengenakan pakaian Jawa lengkap dengan blangkon, memakai keris, dan berkalungkan bunga melati putih.
d) Pembawa Penarung
Pembawa penarung mengenakan pakaian Jawa lengkap.
e) Pengapit Sesepuh Desa
Pakaian pengapit sesepuh desa mengenakan pakaian Jawa lengkap dengan blangkon
f) Kepala Kelurahan
Bapak Lurah dan istri mengenakan pakaian ala pengantin Jawa.
g) Pengapit Kepala Kelurahan
Pakaian pengapit kepala kelurahan mengenakan pakaian Jawa lengkap
h) Pembawa Sosong Agung
Untuk pembawa sosong agung dilakukan oleh seorang wanita yang cantik dengan pakaian basahan.
i) Domas Putra dan Putri
Untuk putra dengan jumlah sepuluh orang dengan mengenakan pakaian Jawa lengkap.Sedangkan domas putrinya berjumlah empat belas dengan perincian sepuluh mengenakan pakaian kebaya ala Jawa.
j) Pembawa Tumpeng Agung
Pembawa tumpeng agung memakai pakaian hitam-hitam, memakai udeng kepala.
k) Pembawa Sesaji Hasil Pertanian
Para pembawa sesaji hasil pertanian mengenakan pakaian hitam-hitam dan memakai udeng kepala.
1) Unit Kejawen
Sesuai dengan namanya unit kejawen ini mengenakan pakaian Jawa lengkap pakai blangkon, memakai keris.
m) Unit Kesenian
Untuk pakaian unit kesenian disesuaikan dengan kesenian yang didatangkan oleh panitia.
n) Unit Perangkat/RT dan RW
Untuk para perangkat mengenakan pakaian Jawa lengkap.
c. Penetapan Waktu
Waktu pelaksanaan ritus labuh sesaji ditentukan menurut penanggalan Jawa yang jatuh pada hari Jumat Pon bulan Ruwah, tetapi penanggalan ini tidak bisa dipastikan karena kadang-kadang bulan Ruwah tidak ada hari Jumat Pon-nya. Kemudian panitia labuh sesaji mengambil kebijaksanaan dengan mempertimbangkan pendapat sesepuh desa yaitu dengan mengajukan pada bulan Rejeb.
d.Personalia
Personalia pelaksana Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan sangat tergantung pada perekrutan kepanitiaan, kendatipun demikian di dalamnya tetap mencerminkan berbagai unsur perwakilan. Unsur perwakilan yang dimaksud antara lain; a) unsur masyarakat (sesepuh desa),b) unsur aparat desa dan kecamatan, c) unsur dari Pemda.
e. Syarat khusus yang harus dipenuhi
Dalam Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan ini tidak ada pantangan atau sesuatu yang harus dijauhi. Menurut Mbah Parto (Sesepuh Desa) bahwa yang harus dipenuhi adalah tentang kelengkapan sesaji. Kalau sesaji yang telah ditetapkan sudah terpenuhi atau lengkap maka sudah cukup dan labuh sesaji bisa dilaksanakan.

f. Prosesi
a) Awal prosesi
Pemberangkatan dimulai dari Ba1ai Kelurahan Sarangan, kurang lebih 500 meter dari Telaga Sarangan. Dalam perjalanan dari Balai Kelurahan Sarangan, peserta yang membawa sesaji dilakukan dengan berjalan kaki kecuali, empat pasukan berkuda dengan naik kuda.
b) Upacara
Upacara Labuh Sesaji dipusatkan di punden desa tepatnya sebelah timur telaga, di tempat inilah para pejabat Kabupaten, Muspika, para perangkat desa, sesepuh, dan tokoh masyarakat serta para warga masyarakat berkumpul untuk mengadakan sesaji. Setelah semua sesaji diterima oleh sesepuh desa, maka Mbah Parto membakar menyan serta membaca doa. Setelah pembacaan doa selesai sesaji dibawa ke telaga untuk dilarungkan kecuali, sesaji yang berisi nasi tumpeng yang berukuran kecil, panggang, cok bakal, dan setakir bunga telon ditinggal di bawah pohon beringin yang ada di punden desa.
c) Pelarungan Sesaji Agung Labuh Tumpeng Gono Bahu
Pelarungan dilakukan setelah sesaji Agung Labuh Tumpeng Gono Bahu dikumpulkan menjadi satu di punden dan dibacakan doa oleh sesepuh Desa Sarangan.

B. Pembahasan
1. Struktur Mitos
Struktur mitos dalam labuh sesaji di Telaga Sarangan ini akan diuraikan, yaitu tentang alur, tokoh, latar, dan amanatnya. Adapun keterangannya diuraikan sebagai berikut :
a. Alur Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Dalam penelitian ini alur dibagi menjadi alur awal, tengah, dan akhir.
a. Alur Awal
Labuh sesaji dimulai dengan mempersiapkan semua yang diperlukan dalam labuh sesaji yaitu berupa penyediaan bahan, alat, pakaian atau busana, dan panitia (pelaku) baik panitia yang membuat sesaji maupun panitia pada waktu pelaksanaan. Untuk penentuan waktu pelaksanaan sudah ditentukan yaitu pada hari Jumat Pon bulan Ruwah.
b. Alur Tengah
Pada bagian ini labuh sesaji pada kegiatan pelaksanaan atau prosesi. Setelah semua sesaji siap, lalu dikumpulkan menjadi satu di balai desa kemudian dibawa ke punden. Sesampainya di punden, sesaji dibacakan doa oleh sesepuh desa yaitu Mbah Parto Sentono.
c. Alur Akhir
Setelah sesaji dibacakan doa oleh sesepuh desa maka, semua sesaji dibawa ke tengah telaga dengan perahu untuk dilarungkan. Mereka meyakini bahwa dengan melarungkan di tengah telaga semua sesaji akan dimakan Kyai dan Nyai Pasir yang berada di dasar telaga.
b. Tokoh Labuh Sesaji
a. Tokoh Utama
Dalam labuh sesaji di Telaga Sarangan, Kepala Desa digambarkan sebagai seseorang yang tinggal di sekitar Telaga Sarangan. Mereka tinggal disana dengan berbagai kesibukan dalam mengatur rumah tangganya sendiri-sendiri maupun rumah tangga pemerintahan. Jadi dapat disimpulkan bahwa tokoh tersebut merupakan tokoh utama karena tokoh kepala desa banyak berperan dan banyak mengambil tindakan dalam peristiwa labuh sesaji.
b. Tokoh Bawahan
Dalam labuh sesaji Telaga Sarangan, tokoh prajurit, pengapit sesepuh, dan pembawa penarung adalah sekelompok orang yang mempunyai tugas membantu kepala desa untuk mengadakan upacara labuh sesaji.
c. Latar Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Seperti sudah dijelaskan dalam kajian pustaka, latar cerita adalah tempat, waktu, peristiwa, dan benda-benda tertentu yang berfungsi melogiskan peristiwa. Mengacu pada pengertian tersebut, latar labuh sesaji di Telaga Sarangan dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu (1) latar ruang (tempat), (2) latar waktu, dan (3) latar suasana.
a. Latar ruang (tempat)
Latar ruang (tempat) merupakan keterangan tentang ruang (tempat) terjadinya peristiwa Telaga Sarangan yang kemudian untuk memperingati peristiwa tersebut diadakannya labuh sesaji. Pada labuh sesaji di Telaga Sarangan yang paling dominan adalah ruang alam bebas yakni Telaga Sarangan itu sendiri (tempat menghilangnya Kyai dan Nyai Pasir).Dari pernyataan di atas, dapat kita simpulkan bahwa gambaran ruang (tempat) labuh sesaji di Telaga Sarangan terdiri atas tempat nyata.
b. Latar Waktu
Dalam labuh sesaji di Telaga Sarangan, latar waktu labuh sesaji tampak jelas, yakni dieksplisitkan sama (tidak berubah) dengan labuh sesaji pada waktu dulu yang dilakukan setiap selapan hari (35 hari), hari Kamis Pahing malam Jumat Pon.
c. Latar Suasana
Latar suasana merupakan keterangan tentang suasana berlangsungnya peristiwa labuh sesaji di Telaga Sarangan. Adapun latar suasana dalam labuh sesaji di Telaga Sarangan dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Suasana cemas, tergambar pada saat prosesi upacara dilaksanakan, karena sesepuh desa merasa cemas dan takut apabila sesaji yang dipersembahkan kepada Kyai Pasir dan Nyai Pasir (diyakini penguasa Telaga Sarangan ) tidak diterima.
2) Suasana sakral, tergambar pada saat upacara berlangsung di punden yang diiringi dengan pembacaan doa yang ditujukan kepada-Nya dan pelarungan sesaji tengah telaga, agar warga Sarangan diberi rezeki dan keselamatan dari berbagai bencana alam yang disebabkan oleh penghuni Telaga Sarangan yang marah.
d. Amanat Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Amanat labuh sesaji di Telaga Sarangan, yang mengandung ajaran budi pekerti yang patut dicontoh dan dikerjakan, juga mengandung falsafah hidup yang patut direnungkan dan dilaksanakan.
2. Makna Mitos Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Setiap terjadi bencana alam di Sarangan yang berupa angin topan, hujan lebat, kabut tebal yang datang secara tiba-tiba dan berlangsung berhari-hari. Kejadian yang mengerikan ini tidak lain adalah ulah Kyai dan Nyai Pasir yang sedang marah. Oleh sebab itu, sesepuh desa Sarangan membuat penolak balaknya yaitu dengan membuat sesaji.
3. Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Dari peristiwa-peristiwa yang melanda keluarga Kyai dan Nyai Pasir, akhirnya masyarakat sekitar menyakralkan peristiwa tersebut dengan cara membuat sesaji yang diletakkan di punden yang letaknya di pinggir telaga. Ini dilakukan setiap selapan hari (35 hari) sekali tepatnya hari Kamis Pahing malam Jumat Pon dan juga dilarungkan ke Telaga Sarangan. Hal ini biasanya dilakukan setahun sekali, tepatnya hari Jumat Pon bulan Ruwah.
Seperti lambang dalam wujud upacara, yang besar sekali pengaruhnya terhadap tata kehidupan masyarakat dan akan selalu diingat sampai akhir hayatnya.
1. Cok Bakal
Cok Bakal yaitu yang terdiri dari sirih yang diikat dengan benang, jenang merah, jenang putih, uang gobog/kuno, cabal merah, telur ayam mentah 1 buah. Semua ditata dan dimasukkan ke dalam kotak (takir: bahasa Jawa) yang dibuat dari daun pisang. Perlengkapan itu semua mempunyai arti sebagai berikut :
a) Sirih
Sirih berguna untuk menebus atau dalam bahasa Jawa dikenal istilah tebusan apa yang menjadi maksud atau tujuannya.
b) Jenang merah
Jenang merah melambangkan darah bapak.
c) Jenang putih
Jenang putih melambangkan darah ibu
d) Uang gobog/kuno
Uang gobog/kuno merupakan pelengkap tebusan pada sirih yang diikat diatas.
e) Cabai merah
Cabai merah menggambarkan sikap manusia dilambangkan dengan rasa pedas dengan arti sikap manusia yang berani
f) Telur ayam mentah 1 butir
Telur ayam mentah dimaksudkan untuk dipersembahkan pada danyang yang menguasai suatu tempat.
2. Kemenyan madu gondo arum
Kemenyan madu gondo arum yaitu kemenyan yang harum baunya. Kemenyan merupakan sarana permohonan pada waktu orang mengucapkan permintaan berupa doa atau mantra.
3. Sekar telon gondo wangi
Sekar telon gondo wangi berupa tiga macam bunga yaitu bunga melati, kanthil dan kenanga. Sekar telon gondo wangi melambangkan asal manusia yaitu dari tri tunggal yang maksudnya bersatunya (manunggaling) Tuhan-bapak-ibu. Juga melambangkan kehidupan manusia, berkenaan dengan sifat hidup dan kodrat menghidupi, yang membuat hidup. Adapun kodrat manusia terdiri dari tiga yaitu lahir, berkembang biak dan mati.
4. Panggang tumpeng
Panggang tumpeng yaitu perpaduan antara ayam yang dipanggang dengan tumpeng.
a) Panggang yaitu ayam yang dipanggang
Panggang atau juga disebut dengan ingkung mempunyai makna atau arti suatu pengorbanan secara tulus yang diperuntukkan kepada Tuhan maupun kepada leluhur yang telah memberikan keselamatan dan perlindungan selama ini. Oleh karena itu, ada suatu kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan maupun kepada leluhurnya.
b) Tumpeng yaitu nasi putih yang dibentuk kerucut dan tanpa lauk pauk. Tumpeng dibentuk seperti gunung mempunyai arti atau makna sebagai tempat tinggal para dewa yang dihormati atau dipuja oleh masyarakat pendukungnya dan mempunyai maksud bahwa segala permohonan ditujukan kepada Tuhan, dengan harapan agar apa yang dimohon atau diharapkan oleh umatnya dapat dikabulkan oleh Tuhannya.
5. Pisang apupus cindhe
Pisang apupus cindhe yaitu berupa pisang raja dan pisang ambon hijau. Sesaji ini mempunyai makna persembahan untuk Suryo Condro yaitu matahari dan rembulan yang menyinari bumi siang dan malam.
6. Jenang sapto warna
Jenang sapta warna ini sesuai dengan namanya, jenang ini terdiri dan 7 jenis warna yaitu:
a) Jenang merah
Jenang merah melambangkan darah bapak.
b) Jenang putih
Jenang putih melambangkan darah ibu.
c) Jenang kuning
Jenang kuning melambangkan kelemahan manusia.
d) Jenang hitam
Jenang hitam melambangkan sifat manusia yang angkara murka.
e) Jenang merah yang bagian tengahnya diberi sedikit jenang warna kuning. Jenang ini melambangkan warna merah mempunyai makna sikap manusia yang berani dan warna kuning menunjukkan sikap manusia yang temah dan suci.
t) Jenang putih yang bagian tengahnya diberi sedikit jenang warna hitam
Jenang ini disebut juga jenang sengkala maksudnya agar terhindar dari godaan syetan.
g) Jenang putih yang bagian tengahnya diberi sedikit jenang warna merah
7. Arang-arang kambang
Arang-arang kambang berupa dawet ketan dilengkapi dengan juruh. Arang-arang kambang ini disebut juga `jenang sewu' mempunyai maksud untuk persembahan saudara manusia yang seribu yang berada dimana-mana.
8. Asahan bekti pertiwi
Asahan bekti pertiwi ini terdiri dari senampan nasi dengan bermacam-macam lauk pauk. Sesaji ini diperuntukkan kepada saudara atau nenek moyang yang menjadi cikal bukal sudah meninggal.
9. Golong hangesti tunggal
Golong hangesti tunggal berupa nasi yang dibuat bulat-bulat yang jumlahnya 9 dengan maksud nasi yang dibuat bulat-bulat, ini mempunyai makna agar orang itu mempunyai tekad yang bulat, maka segala cita-citanya akan lekas tercapai.
10. Pudhak ripih widodaren
Pudhak ripih widodaren yaitu berupa bermacam-macam ubarampe sebagaimana pudhak ripih pada acara temanten.
11. Rojo tetukulan
Rojo tetekulan merupakan hasil pertanian yang ada di desa Sarangan. Ini merupakan perwujudan syukur pada Tuhan yang telah memberikan pada semua masyarakat Sarangan dan sekitarnya.
4. Hubungan antara Mitos dan Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
Bagi masyarakat Desa Sarangan kegiatan bersih desa merupakan suatu tradisi turun-temurun yang memiliki nilai-nilai sakral yang tinggi. Mereka yakin bahwa tidak melakukan bersih desa atau lebih dikenal dengan labuh sesaji, akan membawa akibat buruk bagi nasib mereka, yaitu bencana alam atau membuat Kyai Pasir dan Nyai Pasir marah. Bersih desa atau labuh sesaji merupakan sesuatu yang harus dilakukan, masyarakat juga harus memperhatikan betul kelengkapan sesaji.
Untuk lebih mempermudah mengetahui makna ritus labuh sesaji dibedakan menjadi tiga yaitu :
a. Makna Secara Vertikal
Secara vertikal makna labuh sesaji yaitu selain memperingati murcane (hilangnya) Kyai dan Nyai Pasir yang berwujud ular naga, mengandung maksud untuk mohon berkah, ngalap berkah, memohon rezeki, dijauhkan dari malapetaka, meminta keselamatan di dunia dan akhirat, yang lebih utama adalah usaha untuk meningkatkan Manunggaling Kawulo Gusti yaitu sebuah konsep religi yang berpusat pada pemahaman tentang hubungan kesatuan dan keesaan antara Al Khalik dan makhluk-Nya.
b. Makna Secara Horisontal
Dengan mengacu pendapat Santoso (dalam Moertjipto dkk, 1997:101) fungsi upacara tradisional pada masyarakat pendukungnya, mempunyai 4 tujuan yaitu sebagai : (1) norma sosial, (2) pengendali sosial, (3) media sosial, (4) pengelompokan sosial. Seperti diketahui bahwa dalam upacara tradisional terdapat simbol-simbol yang bermakna positif dan mengandung nilai-nilai atau norma-norma sosial.
Ditinjau dari segi horisontal, labuh sesaji di Telaga Sarangan lebih bermakna untuk membangun solidaritas sosial antara sesama masyarakat Sarangan dan dengan para pejabat pemerintah. Dalam kondisi seperti ini stratifikasi sosial bukan lagi hal yang ditonjolkan, maka ini merupakan kesempatan yang baik untuk memupuk semangat persatuan, menumbuhkan jiwa gotong-royong serta tenggang rasa antara sesama warga masyarakat.
5. Nilai Edukatif dalam Mitos dan Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
a. Nilai Moral
Dalam mitos dan ritus labuh sesaji ini, ditemukan nilai moral pada cerita Djoko Lelung melihat bahwa kedua orang tuanya berubah menjadi ular dan ingin membuat genangan air sebanyak-banyaknya untuk menenggelamkan gunung Lawu. Mengetahui niat jahat kedua orang tuanya itu, Djoko Lelung bersemedi agar orang tuanya tidak meneruskan niat jahatnya untuk menenggelamkan gunung Lawu. Di situlah letak bahwa sikap seorang anak mengingatkan dan mendoakan orang tuanya yang menyimpang dan berniat jahat akan merugikan orang banyak dan orang tuanya pun insyaf bahwa niatnya itu buruk.
b. Nilai Adat (Tradisi)
Nilai adat (tradisi) yang terdapat dalam mitos dan ritus labuh sesaji ini adalah fungsi upacara tradisional pada masyarakat pendukungnya, mempunyai empat tujuan yaitu sebagai : (1) norma sosial, (2) pengendali sosial, (3) media sosial, (4) pengelompokan sosial. Ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan lebih bermakna untuk membangun solidaritas sosial antara sesama masyarakat Sarangan dan dengan para pejabat pemerintah. Dalam kondisi seperti ini stratifikasi sosial bukan lagi hal yang ditonjolkan, maka ini merupakan kesempatan yang baik untuk memupuk semangat persatuan, menumbuhkan jiwa gotong-royong serta tenggang rasa antara sesama warga masyarakat Sarangan khususnya.
c. Nilai Sejarah (Historis)
Sebagaimana diketahui bersama bahwa ritual labuh sesaji sangat mungkin bermuatan kisah masa silam. Oleh karena itu, kisah masa silam dalam ritual labuh sesaji merupakan rekaman fakta sejarah yang sesungguhnya. Pada dasarnya ritual labuh sesaji merefleksikan kehidupan masyarakat. Kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa pada masa lampau pada mitos dan ritus labuh sesaji dapat ditelusuri kembali melalui tradisi memberikan sesaji setiap hari Jumat Pon di Telaga Sarangan tepatnya sekarang menjadi punden desa, yang tempat tersebut dipercayai penunggu Telaga Sarangan itu berada. Melalui cerita mitos dan ritus labuh sesaji setidaknya dapat dirunut kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi masa lampau. Masyarakat mempercayai bahwa dengan memberikan sesaji pada penunggu telaga Sarangan, masyarakat tidak akan mendapatkan bencana yang ditimbulkan oleh penunggu Sarangan.
A. Simpulan
Berdasarkan pemaparan data di atas maka, dapat ditarik simpulan:
1. Struktur mitos labuh sesaji di Telaga Sarangan
Alur labuh sesaji di Telaga Sarangan adalah (a) alur awal yang dimulai dimulai dengan mempersiapkan semua bahan, alat, sesaji, pakaian, dan personalia yang diperlukan dalam labuh sesaji, (b) alur tengah ini pada pelaksanaan atau prosesi, (c) alur akhir yaitu saat sesaji dibawa ke tengah telaga untuk dilarungkan.
Tokoh-tokoh labuh sesaji di Telaga Sarangan terdiri dari tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh utamanya yaitu Kepala Desa dan sesepuh desa. Sedangkan tokoh bawahannya adalah prajurit, pembawa penarung, subo manggolo, pengapit sesepuh desa, pembawa sosong agung, domas putra putri, pembawa tumpeng agung, pembawa sesaji dan masyarakat sekitarnya.
Latar labuh sesaji yaitu latar ruang (tempat), latar waktu, dan latar suasana. (1) Latar ruangnya (tempat) adalah ruang alam bebas yakni telaga Sarangan itu sendiri (tempat menghilangnya Kyai dan Nyai Pasir). (2) Latar waktu labuh sesaji dieksplisitkan sama labuh sesaji pada waktu dulu yang dilakukan setiap "selapan hari" (35 hari), hari Kamis Pahing malam Jum'at Pon. (3) Latar suasana dalam labuh sesaji di Telaga Sarangan. Pertama, suasana cemas yakni pada saat prosesi upacara dilaksanakan. Kedua, suasana sakral yakni tergambar pada saat upacara berlangsung di punden yang diiringi dengan pembacaan doa yang dilakukan oleh sesepuh adat. Amanat dalam labuh sesaji di Telaga Sarangan mengandung ajaran budi pekerti yang patut dicontoh dan dikerjakan, juga mengandung falsafah hidup.
2. Makna mitos labuh sesaji di Telaga Sarangan
Setiap terjadi bencana alam di Sarangan, maka penduduk Sarangan menganggap bahwa yang melakukan adalah Kyai dan Nyai Pasir. Oleh sebab itu, para orang dulu berpikiran bahwa kejadian semacam ini perlu ditangkal, dengan wujud sesaji yang tujukan kepada Kyai dan Nyai Pasir agar tidak mengganggu dan diyakini dapat melancarkan rezeki warga Sarangan.
3. Ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan
Ritus yang sampai ini saat ini dilaksanakan oleh masyarakat Sarangan dan sekitarnya berupa upacara penghormatan dan upacara selamatan. Dalam ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan perlu dipersiapkan segala sesuatunya baik yang menyangkut bahan, sesaji, peralatan, personalia maupun waktu penyelenggaraan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Dalam ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan ini sesaji merupakan unsur pokok yang harus dipenuhi dibuat lengkap.
4. Hubungan mitos dan ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan
Secara vertikal makna ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan mengandung maksud untuk memohon keselamatan, memohon rezeki kepada Tuhan dan para leluhur (Kyai dan Nyai Pasir) di Sarangan. Secara horisontal labuh sesaji di Telaga Sarangan mempunyai makna sebagai suatu wadah interaksi sosial yang dapat membina solidaritas sosial antara sesama masyarakat Sarangan dan dengan pejabat pemerintah tanpa menonjolkan stratifikasi sosial masing-masing.
5. Nilai Edukatif
a. Nilai Moral
Seorang anak mengingatkan dan mendoakan orang tuanya yang menyimpang dan berniat jahat akan merugikan orang banyak dan orang tuanya pun insyaf bahwa niatnya itu buruk.
b. Nilai Adat (Tradisi)
Nilai adat (tradisi) yang terdapat dalam mitos dan ritus labuh sesaji ini adalah fungsi upacara tradisional pada masyarakat pendukungnya, yaitu sebagai : (1) norma sosial, (2) pengendali sosial, (3) media sosial, (4) pengelompokan sosial.
c. Nilai Sejarah (Historis)
Ritus labuh sesaji sangat bermuatan cerita masa silam. Oleh karena itu, kisah masa silam dalam ritus labuh sesaji merupakan rekaman fakta sejarah yang sesungguhnya. Peristiwa-peristiwa pada masa lampau pada mitos dan ritus labuh sesaji dapat ditelusuri kembali melalui tradisi memberikan sesaji setiap hari Jumat Pon di Telaga Sarangan tepatnya tempat yang dipercayai penunggu Telaga Sarangan itu berada. Melalui cerita mitos dan ritus labuh sesaji setidaknya dapat dirunut kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi masa lampau
C. Saran
1. Saran untuk penelitian selanjutnya
Penelitian terhadap folklor di masyarakat hendaknya menjadi perhatian yang serius dan penelitian folklor di Indonesia masih relatif sedikit jumlahnya. Oleh sebab itu penelitian folklor perlu ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya.
2. Saran untuk Departemen Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional sebagai lembaga pemerintah yang menangani pendidikan di Indonesia, sudah waktunya untuk memanfaatkan cerita-¬cerita legenda di daerah sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah. Hal ini bertujuan agar para siswa lebih mengenal, memahami budaya sendiri, sehingga tidak mudah kena pengaruh budaya asing yang bersifat negatif.

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press.

Ardianto, Deny Tri, dan Asep Yudha Wirajaya. 2006. Ritus-Mitos Dhukutan sebagai Aset Pengembangan Pariwisata di Daerah Lawu, Karanganyar. Surakarta: Laporan Penelitian - Univeristas Sebelas Maret.

Asep Yudha Wirajaya. 2003. Penggalian Potensi Folklor sebagai Aset Pengembangan Pariwisata Budaya di Daerah Lawu. Surakarta: Laporan Penelitian - Univeristas Sebelas Maret.

Clifford Geertz. 1989. Work and Lives: the antropologist as author. Stanford, California: Stanford University Press.

Depdikbud.1985-1986. Upacara Tradisional Daerah Jawa Timur. Surabaya: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Koentjaraningrat. 1985. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Moertjipto dkk. 1996. Wujud Arti dan Fungsi Puncak puncak Kebudayaan lama dan asli bagi Masyarakat Pendukungnya. Semarang: Depdikbud

Suwardi Endraswara. 2003. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala

linguistik

Pendahuluan
Setiap bahasa mempunyai sistem-sistem yang khusus untuk mengikat kata-kata atau kelompok-kelompok kata ke dalam suatu gerak yang dinamis. Sebab itu tidak dapat dibenarkan untuk menyusun tatakalimat suatu bahahasa dengan menerapkan begitu saja sintaksis bahasa lain, sebagai yang dilakukan oleh ahli-ahli tatabahasa lama.
Dari beberapa penulis tatabahasa, terdapat dua pendapat tentang pengertian frasa, yaitu (1) frasa diartikan sebagai suatu fungsi dan (2) frasa diartikan sebagai suatu bentuk. Karena perbedaan pendapat tersebut, batasan tentang frasa yang diberikan oleh para penulis tatabahasa pun berbeda-beda.
Sebagai suatu fungsi, frasa adalah satuan sintaksis terkecil yang merupakan pemadu kalimat. Jadi, frasa dapat terdiri atas sebuah kata, atau terdiri atas bentukan, atau terdiri atas campuran kata dan bentukan-bentukan (Samsuri, 1985:93). Sebagai suatu bentuk, frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif (Kridalaksana, dkk., 1984:162). Bersifat nonpredikat, maksudnya hubungan kata-kata yang membentuk suatu frasa tidak menyebabkan fungsi subjek dan predikat dalam konstruksi tersebut. Sejalan dengan pendapat Kridalaksana, Gorys Keraf (dalam Rusyana dan Samsuri (Editor), 1978:77) mengatakan pada prinsipnya, frasa kesatuan yang terdiri dari dua kata atau lebih yang secara gramatikal bernilai sama dengan sebuah kata yang tidak bisa berfungsi sebagai subjek atau predikat dalam konstruksi itu. Sebaliknya, bila kesatuan itu, yang termasuk dalam sebuah kalimat, dan memiliki subjek dan pfredikat disebut klausa Verhaar (2010:291) mendefinisikan frasa adalah kelompok kata yang merupakan bagian fungsional dari tuturan yang lebih panjang. Sedangkan Abdul Chaer (1997:301) menjelaskan bahwa frasa adalah gabungan dua buah kata atau lebih yang merupakan satu kesatuan, dan menjadi salah satu unsur atau fungsi kalimat (subjek, predikat, objek, atau keterangan). Ramlan (1981:121) mengemukakan bahwa frasa adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi.
Dari batasan tersebut, dikemukakan bahwa frasa mempunyai dua sifat, yaitu:
1. Frasa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih.
2. Frasa merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi, ialah dalam subjek, predikat, objek, pelengkap, atau keterangan.
Dari batasan frasa sebagai suatu bentuk, dapat disimpulkan bahwa frasa itu terdiri dua kata atau lebih. Jadi, frasa itu dapat berbentuk kata + kata, kata + kelompok kata, dan kelompok kata + kelompok kata.

Macam-macam frasa
Frasa dapat diklasifikasikan dengan kriteria;
1. Hubungan unsur dalam struktur
2. Jenis kata yang menjadi unsur intinya.
Berdasarkan hubungan unsur dalam struktur, frasa dibedakan atas;
1. Frasa endosentris
2. Frasa eksosentris
Berdasarkan jenis kata yang menjadi unsur intinya, frasa dibedakan atas;
1. Frasa nominal
2. Frasa verbal
3. Frasa ajektival
4. Frasa numeralia
5. Frasa proposisional
6. Frasa pronominal
7. Frasa adverbial
PEMBAHASAN
A. Frasa Endosentris
Frasa endosentris adalah frasa yang berdistribusi pararel dengan intinya. Inti frasa adalah salah satu unsur frasa yang jenis katanya sama dengan jenis frasa tersebut. Berdasarkan jumlah intinya, frasa endosentris dibedakan atas; (1) frasa endosentris koordinatif, (2) frasa endosentris atributif, (3) frasa endosentris apositif.
1. Frasa endosentris koordinatif
Frasa endosentris koordinatif adalah frasa yang intinya mempunyai referensi yang berbeda-beda. Frasa ini terdiri atas unsur-unsur yang setara. Kesetaraannya tersebut terlihat dari kemungkinannya unsur-unsur itu dihubungkan oleh kata sambung dan atau atau. Contoh:
- Paman dan bibi sudah lama tidak menjenguk kami.
- Dua atau tiga hari lagi pemain Brasil pasti datang.
Frasa koordinatif yang tidak mempergunakan kata sambung disebut frasa parataktis. Contoh; hilir mudik, tutur sapa, putih bersih, anak cucu, ibu bapak, besar kecil, kecil mungil, ikal mayang.
2. Frasa endosentris atributif
Frasa endosentris atributif (modifikatif) adalah frasa yang mengandung hanya satu inti. Frasa ini terdiri atas unsur-unsur yang tidak setara, karena itu unsuur-unsur frasa ini tidak mempunyai potensi untuk dihubungkan dengan kata sambung dan atau atau. Contoh:
- Anak nakal itu dihukuim orang tuanya.
- Tamu-tamu yang diharapkan itu belum tentu datang.
3. Frasa endosentris apositif
Frasa endosentris apositif adalah frasa yang inti-intina mempunyai referensi yang sama. unsur-unsur frase ini tidak dapat dihubungkan degan kata sambung dan atau atau dan secara semantis unsur yang satu sama dengan yang lainnya. Frase endosentris apositif umumnya bersifat nominal. Contoh:
- Ali, anak Ahmad, akan pergi ke Jakarta.
- Surabaya, kota pahlawa, terpilih sebagai kota terbersih.

B. Frasa Eksosentris
Frasa eksosentris adalah frasa yang berdistribuisi komplementer dengan unsur-unsurnya. Karena tidak ada unsur-unsurnya yang berdistribusi pararel dengan frasa eksosentris, maka frasa tersebut dikatakan tidak mempunyai inti. Frasa eksosentris mempunyai dua unsur, yaitu: (1) perangkai yang berupa preposisi atau partikel dan (2) sumbu yang berupa kata atau kelompok kata.
Berdasarkan jenis perangkai, frasa eksosentris dibedakan atas: (1) frasa eksosentris direktif/preposisional dan frasa eksosentris non-direktif.
1. Frasa eksosentris direkstif/preposisional
Frasa eksosentris direkstif adalah frasa eksosentris yang perangkainya berupa preposisi. Frasa ini semuanya berdistribusi komplementer dengan unsur-unsurnya, baik dengan perangkai maupun dnegan sumbunya. Contoh:
- Pendekar itu memainkan pedang dengan tangkas.
- Hari ini Ali tidak masuk sekolah karena sakit.
2. Frasa eksosentris non-direktif
3. Frasa eksosentris non-direktif adalah frasa eksosentris yang perangkainya bukan preposisi. Frasa eksosentris non-direktif ada yang berdistribusi komplementer dan ada yang berdistribusi pararel dengan salah satu unsurnya (sumbunya).
Contoh yang berdistribusi komplementer dengan sumbunya:
- Yang mengarang buku ini Ali.
- Para fakir miskin mendapat santunan dari pemerintah.
Contoh yang berdistribusi pararel dengan sumbunya:
- Kaum buruh berdemonstrasi untuk memperjuangkan nasib mereka.
- Para penonton bersorak sorai kegirangan.

C. Frasa Nominal
Frasa nominal adalah frasa yang memiliki distribusi yang sama dengan nomina. Frasa nominal dapat bersifat endosenris, baik yang atributif, koordinatif, maupun apositif; dan dapat pula bersifat eksosentris non-direktif.
1. Frasa nominal endosentris atributif
Frasa nominal endosentris atributif adalah frasa yang intinya terdiri atas nomina dan berdistribusi pararel dengan inti tersebut.
Contoh yang berstruktur nomins/frasa nomina + nomina/frasa nominal;
- Perusahaan tahu kuning di mota Kediri itu sangat terkenal
- Buku tulis adik sudah habis.
Contoh yang berstruktur nomina/frasa nominal + verba/frasa verbal
- Dosen kitu mengajarkan matakuliah membaca lanjut.
- Di sekolah kami diajarkan juga cara memasak.
2. Frasa nominal endosentris koordinatif
Frasa nominal endosentris koordinatif unsur-unsurnya terdiri atas nomina yang dihubungkan dengan konjungsi dan, atau, baik....maupun...atau konjungsi (frasa praktis). Contoh;
- Ayah dan ibu pergi ke Surabaya.
- Sawah ladangnya digadaikan kepada lintah darat.
3. Frasa nominal endosentris apositif
Frasa nominal endosentris apositif, unsur-unsurnya terdiri atas nomina/frasa nominal yang dihubungkan dengan tanda koma. Contoh;
- Amir, adik saya, sedang mengikuti tes CPNS.
- Suminten,anak sulung pak Ali, akan dinikahkan.
4. Frasa nominal eksosentris non-direktif
Frasa nominal eksosentris non-direktif, perangkainya terdiri atas artikula atau partikel, sumbunya terdiri atas nomina/frasa nominal, verba/frasa verbal, ajektiva/frasa ajektival, frasa direktif, numeralia/frasa numeralia. Contoh;
- Yang besar dipisahkan dari yang kecil.
- Yang kakinya sakit tidak diwajibkan upacara.
Contoh yang perangkainya partikel:
- Para undangan diharap segera masuk.
- Para wakil rakyat sedang bersidang di gedung DPR.
D. Frasa verbal
Frasa verbal adalah frasa yang mempunyai distribusi pararel dengan verba. Unsur-unsur frasa verbal adalah verba sebagai inti dan dengan verba/frasa verbal, ajektiva/frasa ajektival, frasa eksosengtris direktif, adverbia/frasa adverbial sebagai atributnya. Frasa verbal hanya bersifat endosentris, baik yang atributif maupun yang koodinatif.
Contoh yang berstruktur verba/frasa velbal+verba/frasa verbal:
- Siswa kelas VI sedang diajar merangkai bunga.
- Anak-anak itu pergi mandi ke sungai.
Contoh yang berstruktur verba/frasa verbal + ajektiva/frasa ajektival:
- Para tamu itu sedang tidur nyenyak di ruang tamu.
- Buah-buahan itu tumbuh subur di daearah berhawa dingin.
E. Frasa Numeralia
Frasa numeralia adalah frasa yang mempunyai distribusi pararel dengan numeralia. Unsur numeralia adalah numeralia sebagai ini dan dengan numeralia/frasa numeralia sebagai atributnya. Contoh;
- Ibu membeli sepuluh butir telur ayam kampung.
- Dua atau tiga minggu lagi buku pesanan saya itu pasti datang.
F. Frasa Preposisional
Frasa proposisional adalah frasa yang perangkainya menduduki posisi di depan sumbunya. Frasa ini diawali oleh preposisi sebagai perangkainya, diikuti oleh nomina/frasa nominal, verba/frasa verbal. Frasa preposisional bersifat eksosentris direktif.
Contoh yang berstruktur preposisi/frasa preposisional + nomina/frasa preposisional;
- Putra-putra bangsa bertempur mati-matian demi kemerdekaan.
- Sejak dari Surabaya, bus itu tidak menaikkan penumpang sama sekali.
Contoh berstruktur preposisi/frasa preposisional + verba/frasa verbal;
- Harta miliknya habis terjual untuk membayar hutangnya.
- Untuk mewujudkan cita-citanya, Ali terpaksa meninggalkan kampung halamannya.
G. Frasa Pronominal
Frasa pronominal adalah frasa yang intinya terdiri atas nomina. Unsur frasa pronomina adalah pronomina sebagai inti dan dengan pronomina, numeralia, demonstrativa, adverbia, dan frasa nominal sebagai atributnya. Frasa pronominal bersifat endosentris, baik yang atributif, koordinatif, maupun apositif.
Contoh yang berstruktur pronomina + pronomina;
- Kami sendiri yang mengerjakan karya besar ini.
- Saya dan mereka tidak ada kaitan kerabat sama sekali.
Contoh berstruktur pronomina + numeralia:
- Kita semua yang bertanggung jawab terhadap akibat tindakan ini.
- Kamu seorang yang menjadi tumpuan harapan keluarga.
Contoh yang berstruktur pronomina + demostrativa:
- Mereka itu adalah orang-orang yang telah berjasa kepada negara.
- Kami ini hanya menuntut perbaikan nasib.
Contoh yang berstruktur pronomina + adverbia;
- Mungkin dia yang terpilih sebagai kepala desa.
- Engkau sajalah yang menangani masalah itu.
Contoh yang berstruktur pronomina + frasa nominal
- Kami, orang tua,harus menjadi contoh bagi anak-anak.
- Kamu, pemuda harapan bangsa,harus mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan.
H. Frasa Adverbial
Frasa adverbial adalah frasa yang mempunyai distribusi pararel dengan adverbia. Frasa adverbia terdiri atas adverbia saja sebagai unsurnya dan bersifat endosenytris atributif. Contoh;
- Pemilihan kepala desa itu tidak mungkin lagi ditunda.
- Masalah pribadi tidak boleh dicampur-adukkan dengan masalah dinas.


Daftar Referensi

Gorys Keraf. 1978. Tata bahasa Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Atas.Ende Flores: Penerbit Nusa Indah.

Harimurti Kridalaksana, dkk. 1984. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia Sintaksis. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Oscar Rusmadji. 1993. Aspek-aspek Sintaksis Bahasa Indonesia. Malang: IKIP Malang.

Ramlan, M.1981. Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis.Yogyakarta: UP Karyono.

Samsuri. 1975. Morfo-Sintaksis. Malang : Lembaga Penerbitan Almamater YPTP IKIP.

Samsuri. 1985. Tata kalimat\Bahasa Indonesia. Jakarta: Sastra Hudaya.

Verhaar, J.W.M. 2010. Asas-asas Linguitik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.